Laman

Rabu, 19 Februari 2020

Sebuah Derby Sepakbola Tidak Bisa Dilaksanakan Di Tempat Netral


Pertandingan derby adalah pertandingan antara tim olahraga (umumnya lokal) yang mempertemukan dua tim yang masing-masing memiliki rivalitas tersendiri. Pertandingan derby yang ada dapat terjadi karena persaingan prestasi antara kedua tim dalam dunia olahraga, persaingan antara dua tim satu kota yang membuat pertandingan menjadi bergengsi, ataupun suatu sebab lain yang menyebabkan kedua tim memiliki rivalitas. Sedangkan rivalitas merupakan kata yang bermakna perihal rival permusuhan antara mereka sering menimbulkan perkelahian. Kita sering mengetahui penggunaan kata rival dan derby dalam pertandingan sepakbola dalam negeri maupun luar negeri. Indonesia memiliki banyak derby antar tim sepakbola antara lain Persija Jakarta dengan Persib Bandung serta Arema Malang dengan Persebaya Surabaya. 
Disetiap akan berlangsungnya derby selalu banyak media yang menyoroti terkait keamanan dan mengingatkan kembali bahwa sudah banyak korban dari setiap derby tersebut. Sehingga membuat para supporter bersikap was was da nada itikad balas dendam karena pemberitaan yang telah mengingatkan sehingga timbul upaya untuk membalas “korban dibalas dengan korban”. Derby Jatim yang telah pada tanggal 18 Februari 2020, juga telah menghasilkan korban, dimana bukan hanya korban dari para supporter tetapi masyarakat kota yang dihelat untuk semifinal Derby Jatim tersebut yaitu kota Blitar. Kota ini dirasa cukup netral dalam menjalankan laga Derby Jatim serta meredam situasi yang selalu panas antar supporter. Pertandingan dilaksanakan tanpa adanya penonton, tetapi tetap saja para supporter tetap berdatangan ke Blitar untuk “menjaga” tim kesayangannya dari serangan supporter lawan.
Memang Piala Gubernur dirasa sangat bergengsi, sehingga setiap tim akan mengeluarkan kemampuannya untuk mendapatkan gelar juara tersebut. Namun perlu diingat ini hanyalah pra musim untuk menuju Liga 1 Indonesia. Penunujukan tempat netral dari pihak penyelanggara merupakan sesuatu hal yang keliru, mengingat banyak kerugian yang terjadi diluar stadion, dimana banyak supporter yang meminta makan dan uang kepada masyarakat sekitar stadion. Aktivitas pertokoan juga banyak yang ditutup untuk mengantisipasi kerugian jika terjadi pertikaian antar supporter. Padahal jika mau melihat head to head kedua tim musim lalu, pertandingan tetap dilaksanakan di setiap stadion kandang tim masing masing. Ketika laga Arema menjadi tuan rumah tetap dilakasanakan di Stadion Kanjuruhan Malang sedangankan ketika laga Persebaya menjadi tuan rumah juga dilaksanakan di Stadion Gelora Bung Tomo. Mungkin ketika Derby Jatim kemarin dilakukan di salah satu kandang tim tersebut dan pertandingan tanpa penonton akan tidak merugikan masyarakat di kota lain. Rivalitas antar kelompok suporter itu merupakan hal yang sangat wajar. Akan tetapi, perselisihan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain seharusnya bisa dihindari.  Mengatasi kerusuhan yang disebabkan suporter adalah pekerjaan sulit. PSSI sebagai induk sepakbola Indonesia harusnya berani dalam membuat kebijakan dalam mengatasi kekerasan antar supporter agar tidak menimbulkan korban lagi.
Jika ingin melakukan study banding kasus bisa dengan Inggris. Inggris adalah satu-satunya negara yang pernah menerima larangan mengirim klub di turnamen resmi internasional. Larangan itu berlaku sejak 1985 hingga 1990, dikeluarkan sesudah Tragedi Heysel yang menewaskan 39 suporter dalam final Piala Champions (sekarang Liga Champions) antara Liverpool dan Juventus. Sanksi itu membuat Inggris berbenah untuk mengatasi keamanan para suporter sepak bola dan mencegah kerusuhan yang mungkin disebabkan pendukung garis keras. Perbaikan pengamanan stadion, perlakuan terhadap suporter, hingga pembuatan regulasi baru untuk pendukung sepakbola dilakukan sebagai upaya mengikis kekerasan antar supporter. Berdasarkan laporan Social Issues Research Centre (SIRC) dalam situs resminya, salah satu cara menekan kekerasan antar supporter adalah membiarkan aparat keamanan melakukan penyusupan ke barisan suporter sebuah klub. FA Asosiasi Sepakbola Inggris disebut pernah merekomendasikan keberadaan polisi berbaju sipil di tengah-tengah suporter. Aparat tersebut bertugas mencari provokator. Metode penyusupan polisi ke tengah-tengah barisan suporter terbukti efektif. Penekanan jumlah provokator memegang peran penting. Sebab, tanpa keberadaan mereka potensi terjadinya rusuh dalam laga sepakbola akan mengecil. Selain melakukan infiltrasi, perbaikan juga dilakukan pada aspek pengamanan stadion. FA Asosiasi Sepakbola Inggris juga mulai giat menyebar penggunaan kamera pengawas (CCTV) sejak pertengahan 1980an. Teknologi canggih digunakan untuk mempermudah pengawasan terhadap suporter di stadion. Terakhir, sebuah regulasi khusus untuk suporter akhirnya lahir pada 1989. Regulasi bernama Football Spectators Act (FSA) itu mewajibkan seluruh suporter di Inggris memiliki kartu keanggotaan dari klub yang mereka dukung. Kartu identitas suporter diwajibkan untuk mencegah adanya provokator yang masuk ke stadion kala pertandingan tengah berlangsung. Selain itu, FSA juga mengatur keberadaan Badan Otoritas Lisensi baru yang bertugas memberi, atau mencabut izin sebuah stadion guna menyelenggarakan pertandingan sepakbola. Kewenangan besar diberikan kepada Badan Lisensi agar tak ada lagi stadion yang tingkat keamanannya rendah di tanah Inggris. Demi menyiasati keberadaan peraturan itu, klub-klub Liga Inggris pun akhirnya membenahi stadionnya sejak 1990an silam. Alhasil, saat ini tak ada lagi stadion yang masih mempertahankan keberadaan pagar pembatas tinggi, maupun tak memiliki fasilitas tempat duduk bagi suporter. Di luar stadion, posisi pasukan keamanan amat penting untuk memecah massa yang mencoba rusuh dan menangkap provokator. Setelah itu, para suporter yang terlibat kerusuhan pun dihukum keras termasuk di antaranya tak boleh datang ke stadion seumur hidup.
Memang permasalahan seperti ini bukan masalah sepele dan perlu ditangani oleh seluruh elemen dalam sebuah kompetisi khususnya sepakbola. Supporter hanyalah sekelompok orang yang mendukung tim kebanggaannya untuk mendapatkan gelar juara, jangan salahkan mereka karena memang belum tentu mereka salah. Tidak adanya aturan yang konkrit dan jelas membuat semuanya begitu berantakan. Mari berbenah dengan peduli dengan tim kebanggan masing masing dan mengurangi resiko, karena sejatinya sepakbola untuk hiburan bukan sebuah ritual yang membutuhkan korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar